WHAT'S NEW?
Loading...
Kalimat nominal adalah kalimat yang predikatnya berupa kata benda atau nomina, termasuk pronomina dan frasa nominal. Namun, tidak semua deret nomina berupa kalimat sebab dapat juga deret tersebut hanya berupa frasa. Perhatikan contoh berikut.

(1a) Buku keluaran Badan Bahasa itu.
(1b) Buku itu keluaran Badan Bahasa.

Deret kata pada contoh (1a) bukan merupakan kalimat, melainkan berupa frasa sebab keluaran Badan Bahasa itu hanya sebagai pewatas inti frasa buku, bukan merupakan predikat. Sebaliknya, deret kata pada contoh (1b) merupakan kalimat sebab batas frasa itu memisahkan kalimat menjadi dua frasa nominal, yaitu buku itu merupakan subjek dan keluaran Badan Bahasa merupakan predikat. Dengan demikian, dalam kalimat nominal dapat diketahui bahwa nomina atau frasa nominal yang pertama adalah subjek dan nomina atau frasa nominal yang kedua adalah predikat. Namun, jika nomina atau frasa nominal yang pertama dilekati partikel lah, nomina atau frasa nominal itu menjadi predikat, sedangkan nomina atau frasa nominal yang kedua menjadi subjek. Perhatikan contoh berikut!

(2a) Beliau dosen pembimbing saya.
(2b) Beliaulah dosen pembimbing saya.
(3a) Orang itu paman saya.
(3b) Orang itulah paman saya.

Kalimat yang predikatnya berupa nomina atau frasa nominal seperti contoh di atas sering pula disebut kalimat ekuatif.

Sumber: Badan Bahasa Kemdikbud

Dalam ilmu bahasa kita kenal istilah homonim dan polisemi. Kedua istilah itu sering dianggap sama. Benarkah begitu?

Kedua istilah itu sebenarnya mempunyai perbedaan. Homonim merupakan kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan. Kata kunci untuk homonim adalah sumber yang berbeda. Perhatikan contoh berikut!
  1. Ardi bisa mengerjakan soal itu dengan mudah.
  2. Bisa ular itu sangat berbahaya.

Kata bisa pada kedua kalimat di atas berbeda. Kata bisa pada kalimat (1) berarti ‘mampu atau dapat’, sedangkan bisa pada kalimat (2) berarti ‘zat racun’. Kedua kata itu berasal dari sumber yang berlainan. Berdasarkan hal itu, kata bisa termasuk homonim, bukan polisemi.

Polisemi merupakan bentuk bahasa (kata, frasa, dsb.) yang mempunyai makna lebih dari satu. Makna lebih dari satu tersebut terjadi karena adanya beberapa konsep dalam pemaknaan suatu kata. Misalnya, kata akarbermakna (1) ‘bagian tumbuhan yang biasanya tertanam di dalam tanah sebagai penguat dan pengisap air serta zat makanan’; (2) ‘asal mula, pokok, pangkal yang menjadi sebab (kiasan)’; (3) ‘unsur yang menjadi dasar pembentukan kata’. Perhatikan contoh di bawah ini!
Akar pohon itu mengganggu bangunan.
Kita harus mencari akar masalahnya agar dapat menyelesaikan kasus itu dengan baik.

Kata akar pada kalimat (3) berarti ‘bagian tumbuhan yang biasanya tertanam di dalam tanah sebagai penguat dan pengisap air serta zat makanan’ dan kata akar pada kalimat (4) berarti ‘pokok atau pangkal’.

Sumber: Badan Bahasa Kemdikbud

Pendokumentasian Bahasa dalam Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah yang Terancam Punah di Indonesia

oleh: 

Adi Budiwiyanto


Ethnologue (2015) mencatat sebanyak 7.102 bahasa dituturkan di seluruh dunia. Sementara itu, di Indonesia tercatat 707 bahasa yang dituturkan sekitar 221 juta penduduk. Itu berarti bahwa kurang lebih sepuluh persen dari jumlah bahasa di dunia ada di Indonesia. Di satu sisi, hal itu menjadi suatu kebanggaan karena itu menunjukkan kekayaan bahasa sekaligus keberagaman budaya yang kita miliki. Akan tetapi, di sisi lain hal itu menjadi tantangan, atau bahkan beban, bagi kita untuk menjaga keberadaan bahasa-bahasa itu.
Para ahli bahasa memprediksi bahwa setengah dari bahasa-bahasa di dunia akan punah. Di Indonesia sendiri, menurut Moseley (2010) dalam buku Atlas of the World’s Languages in Danger, terdapat 146 bahasa yang terancam punah dan 12 bahasa yang telah punah. Bahasa-bahasa itu umumnya berada di bagian timur Indonesia. Bahasa-bahasa yang teridentifikasi telah punah adalah Hukumina, Kayeli, Liliali, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, dan Te’un di Maluku, Mapia dan Tandia di Papua, serta Tobada’ di Sulawesi.
Kepunahan bahasa dapat disebabkan oleh beberapa hal. Austin dan Sallabank (2011: 5—6) membaginya ke dalam empat kategori utama.
  1. Bencana alam (gempa bumi, tsunami, dsb), kelaparan, dan penyakit.
  2. Perang dan genosida.
  3. Represi terbuka, biasanya mengatasnamakan “persatuan nasional” atau asimilasi (termasuk pemukiman kembali secara paksa).
  4. Dominasi ekonomi, politik, atau budaya.
Faktor-faktor penyebab kepunahan itu mungkin terjadi secara bersamaan dan terkadang agak sulit untuk menentukan garis pemisahnya.
            Keempat kategori di atas dapat dibagi lagi ke dalam lima faktor yang paling umum.
  1. Faktor ekonomi, misalnya, kemiskinan di pedesaan yang menyebabkan terjadinya urbanisasi.
  2. Faktor dominasi budaya oleh masyarakat mayoritas, misalnya, pendidikan dan kepustakaan yang hanya menggunakan bahasa mayoritas atau bahasa negara; akibatnya, bahasa daerah menjadi terpinggirkan.
  3. Faktor politik, misalnya, kebijakan pendidikan yang mengabaikan atau mengecualikan bahasa daerah, kurangnya pengakuan atau representasi politik, atau larangan penggunaan bahasa minoritas dalam kehidupan masyarakat.
  4. Faktor sejarah, misalnya, penjajahan, sengketa batas wilayah, atau naiknya satu kelompok berikut ragam bahasanya menjadi dominansi politik dan budaya.
  5. Faktor sikap, misalnya, bahasa minoritas diasosiasikan dengan kemiskinan serta buta huruf dan penderitaan, sementara bahasa mayoritas dikaitkan dengan kemajuan.
           Lewis et al., (2015) berpendapat bahwa ada dua dimensi dalam pencirian keterancaman bahasa, yaitu jumlah penutur yang menggunakan bahasanya serta jumlah dan sifat penggunaan atau fungsi penggunaan bahasa. Suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya dan, oleh karena itu, bahasa itu tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka. Selain itu, suatu bahasa dikategorikan terancam punah jika bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya. Semakin kecil ranah penggunaan bahasa dalam masyarakat cenderung akan memengaruhi persepsi pengguna bahasa akan kesesuaian penggunaan bahasa dalam fungsi yang lebih luas.
     Keberagaman bahasa adalah pilar keberagaman budaya. Oleh karena itu, kepunahan yang terjadi pada suatu bahasa berarti juga hilangnya kekayaan budaya. Tradisi, memori, serta cara berpikir dan berekspresi, yang merupakan warisan yang tak ternilai untuk mencapai masa depan yang lebih baik, pun akan hilang. Sejumlah ahli linguistik ekologi, dengan menggunakan analisis wacana kritis, mendapati bahwa antara budaya, bahasa, dan keanekaragaman hayati mempunyai korelasi. Analisis itu menyingkap bahwa praktik kebahasaan memperlihatkan sikap eksploitatif terhadap lingkungan alam. Oleh karena itu, mereka mengklaim bahwa punahnya lingkungan alam sebagian disebabkan oleh bahasa. Namun, yang lebih menyedihkan adalah ketika penutur suatu bahasa kehilangan bahasanya. Bahasa sering dianggap sebagai simbol identitas kesukuan atau identitas kebangsaan. Jadi, ketika seseorang kehilangan bahasanya, itu berarti ia telah kehilangan identitas etnis atau identitas kebangsaannya.
     Oleh karena itu, untuk mengatasi bahasa-bahasa daerah yang terancam punah itu, diperlukan revitalisasi bahasa. Salah satu bentuk revitalisasi yang dapat dilakukan adalah dengan pendokumentasian bahasa.

Revitalisasi Bahasa yang Terancam Punah
Menurut Hinton (2011: 291—293), revitalisasi bahasa adalah upaya untuk mengembalikan bahasa yang terancam punah pada tingkat penggunaan yang lebih baik dalam masyarakat setelah mengalami penurunan penggunaan. Lebih lanjut Hinton menegaskan tugas utama revitalisasi bahasa meliputi 1) mengajarkan bahasa kepada mereka yang tidak mengetahui bahasa itu dan 2) membuat orang yang mempelajari bahasa dan orang yang sudah mengetahui bahasa itu menggunakannya  dalam situasi yang lebih luas. Tujuan transmisi antargenerasi dikatakan berhasil jika tugas yang kedua dapat dicapai. Tentu saja itu merupakan tugas sekaligus tantangan yang berat.
     Hinton mengusulkan enam upaya nyata yang dapat dilakukan dalam mengembalikan penggunaan bahasa yang hampir punah, yaitu
  1. belajar beberapa kata, seperti salam dan perkenalan atau percakapan pendek;
  2. mengumpulkan publikasi linguistik, catatan lapangan dan rekaman suara sebagai bagian dari penciptaan sumber daya berbasis masyarakat dan arsip;
  3. mengembangkan sistem tulis dan pembuatan kamus berbasis masyarakat dan tata bahasa pedagogis;
  4. membuat rekaman audio atau video dari penutur yang tersisa dengan tujuan mendokumentasikan dan mengarsipkan contoh penggunaan bahasa mereka dengan membuat korpus bahan berbagai jenis;
  5. mengikuti kelas bahasa atau kemah bahasa; dan
  6. menjalankan sekolah imersi penuh (sekolah yang bahasa pengantarnya adalah bahasa yang terancam punah itu sendiri) untuk anak-anak pada masyarakat yang memiliki sumber daya untuk mendukung mereka.
     Untuk memastikan apakah suatu bahasa perlu direvitalisasi, perlu dilakukan penilaian vitalitas atau daya hidup bahasa. Daya hidup bahasa dapat diukur dari beberapa indikator. Unesco (2003) menggunakan sembilan faktor untuk menentukannya, yaitu 
  1. transmisi bahasa antargenerasi;
  2. jumlah penutur absolut;
  3. proporsi penutur dengan jumlah penduduk keseluruhan;
  4. kecenderungan dalam ranah penggunaan bahasa;
  5. daya tanggap terhadap ranah baru dan media;
  6. materi untuk pendidikan bahasa dan keberaksaraan;
  7. kebijakan bahasa oleh pemerintah dan institusi, termasuk status resmi dan penggunaanya;
  8. sikap masyarakat penutur terhadap bahasa mereka;
  9. jumlah dan kualitas dokumentasi bahasa.
Faktor (1—6) digunakan untuk mengevaluasi daya hidup bahasa dan keadaan keterancaman,. Faktor (7—8) diguanakan untuk menilai sikap bahasa, sementara faktor (9) dipakai untuk menilai pentingnya pendokumentasian.
           Berdasarkan menilaian daya hidup bahasa, Unesco (2003) menggolongkan enam tingkat keadaan bahasa.
  1. Aman: bahasa dituturkan oleh semua generasi dan transmisi antargenerasi tidak terputus.
  2. Rentan: bahasa dituturkan oleh anak-anak, tetapi hanya pada ranah tertentu.
  3. Terancam: anak-anak tidak lagi menggunakan bahasanya di rumah sebagai bahasa ibu.
  4. Sangat terancam: bahasa hanya digunakan antargenerasi tua, tetapi tidak kepada anak-anak.
  5. Hampir punah: hanya generasi tua yang dapat menuturkan, tetapi jarang digunakan.
  6. Punah: tidak ada penuturnya.
     Sementara itu, berdasarkan penilaian pentingnya pendokumentasian, Unesco mengategorikan enam tingkat keadaan dokumentasi.
  1. Unggul: ada tata bahasa yang komprehensif dan kamus, teks yang luas; aliran bahan bahasa konstan; banyak terdapat rekaman audio dan video berkualitas tinggi yang beranotasi.
  2. Baik: ada satu tata bahasa yang baik dan sejumlah tata bahasa yang memadai, kamus, teks, sastra; rekaman audio dan video berkualitas tinggi yang beranotasi jumlahnya memadai.
  3. Cukup: mungkin ada tata bahasa yang memadai atau jumlahnya cukup, kamus, dan teks, tetapi tidak ada media sehari-hari; rekaman audio dan video mungkin ada dalam kualitas atau anotasi yang beragam.
  4. Taklengkap: ada beberapa sketsa tata bahasa, senarai kata, teks yang bermanfaat untuk penelitian bahasa, tetapi cakupannya kurang; rekaman audio dan video mungkin ada dengan kualitas yang bervariasi, dengan atau tanpa anotasi.
  5. Kurang: hanya sedikit sketsa tata bahasa, sedikit senarai kata, dan teks yang taklengkap; rekaman audio dan video tidak ada, tidak dapat dipakai, atau tidak beranotasi.
  6. Tanpa dokumentasi: tidak ada bahan.
Dengan diketahui keadaan dokumentasi suatu bahasa, tahap selanjutnya dapat dirancang tugas khusus dan memungkinkan untuk mendesain proyek penelitian bersama-sama dengan anggota masyarakat tutur suatu bahasa.

Pendokumentasian bahasa
Pendokumentasian bahasa belakangan ini gencar dilakukan oleh para peneliti bahasa. Hal itu dilakukan mengingat banyak bahasa yang masih dituturkan pada saat ini terancam kepunahan. Jika satu bahasa punah, tentu tidak mungkin dilakukan pengecekan data terhadap penutur jati dan tidak mngkin pula dilakukan pengumpulan sejumlah data tambahan. Dalam hal ini, dokumentasi bahasa tidak hanya dianggap sebagai repositori data untuk penelitian ilmiah, tetapi dokumentasi bahasa juga berperan penting dalam pemertahanan bahasa.
     Himmelmann (2006: 1—5) berpendapat bahwa dokumentasi bahasa adalah rekaman bahasa yang bersifat multiguna dan kekal. Multiguna dalam konteks itu berarti bahwa dokumentasi bahasa meliputi rekaman sebanyak mungkin dan beragam yang mencakup semua aspek bahasa. Dengan kata lain, dokumentasi bahasa idealnya berisi semua register dan ragam, bukti bahasa sebagai praktik sosial dan kecakapan kognitif, serta mencakup contoh penggunaan bahasa lisan dan tulisan. Sementara itu, sifat dokumentasi bahasa yang kekal mengandung perspektif jangka panjang yang dapat menjangkau masalah dan isu kebahasan di masa yang akan datang. Jadi, tujuan pendokumentasian bahasa bukanlah pembuatan rekaman yang sifatnya jangka pendek untuk tujuan-tujuan khusus ataupun untuk kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu, dokumentasi bahasa yang ideal adalah rekaman yang dapat digunakan untuk generasi selanjutnya dan masyarakat penutur yaang identitasnya masih belum diketahui dan yang ingin juga mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang belum muncul pada saat pendokumentasian dilakukan. Bentuk dokumentasi bahasa yang dimaksud adalah berupa korpus data primer yang komprehensif.
     Pendokumentasian bahasa termasuk dalam cabang linguistik dokumenter (documentarylinguistics). Dalam pandangan tradisional (linguistik struktural), pendokumentasian bahasa pada dasarnya adalah menyusun tata bahasa, kamus, dan sejumlah teks (Woodbury, 2008: 5; Himmelmann, 2006: 17—19). Hubungan di antara unsur-unsur itu bersifat hierarkis. Posisi teratas adalah tata bahasa, kemudian kamus, dan terbawah adalah teks. Tata bahasa merupakan seperangkat aturan untuk memproduksi ujaran. Kamus merupakan senarai pasangan bentuk dan makana konvensional yang digunakan untuk menghasilkan ujaran. Adapun teks, baik dalam bentuk kumpulan teks maupun apendiks tata bahasa, berfungsi memperluas contoh tentang bagaimana sistem tersebut bekerja dalam konteks. Teks-teks tersebut biasanya diambil dari korpus data primer yang digunakan sebagai dasar pendeskripsian sistem. Akan tetapi, sesungguhnya teks tersebut tidak menyediakan akses pada data primer karena teks-teks itu telah disunting sedemikian rupa. Selama berabad-abad banyak tata bahasa dari berbagai bahasa dan juga kamus yang telah dihasilkan. Namun, semuannya belum dapat memenuhi tujuan pendokumentasian bahasa, yaitu menyediakan rekaman bahasa yang bersifat multiguna dan kekal.
     Pendokumentasian bahasa dimulai dengan pengembangan proyek untuk bekerja sama dengan masyarakat tutur pada suatu bahasa. Perkembangannya dpat dilihat dari serangkaian tahapan yang meliputi pengumplan data, pemrosesan data, dan penyimpanan data. Secara terperinci, Austin (2006: 89—110) mengidentifikasi proses pendokumentasian dalam lima tahapan: perekaman (recording), pendigitalan (capturing), analisis (analysis), pengarsipan (archiving), dan mobilisasi (mobilization). Perekaman berkaitan dengan penggunaan media (audio, video, atau gambar) dan teks. Pendigitalan berkaitan dengan pengubahan bahan rekaman dalam bentuk digital. Analisis berkaitan dengan pentranskripsian, penerjemahan, pembuatan anotasi, dan notasi metadata. Pengarsipan berkenaan dengan pembuatan arsip serta hak akses dan penggunaan. Adapun mobilisasi berkaitan dengan pemublikasian dan pendistribusian bahan dalam berbagai bentuk.

Pendokumentasian Bahasa Terancam Punah di Indonesia
Upaya pendokumentasian bahasa terancam punah di Indonesia mulai gencar dilakukan pada tahun 2000-an. Upaya tersebut umumnya dilakukan oleh yayasan, institusi, atau perguruan tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, yang sungguh-sungguh mempunyai perhatian besar terhadap masalah kebahasaan. Hans Rausing Endangered Languages Project yang didanai oleh Arcadia dan DoBeS (Dokumentation Bedrohter SprachenProjectyang disponsori oleh Volkswagen Foundation adalah beberapa contoh prakarsa pendokumentasian bahasa hampir punah di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
     Pemerintah Indonesia melalui institusinya, Badan Bahasa, telah mengawali pendokumentasian bahasa yang terancam punah ketika menginventarisasi bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Hingga kini, kegiatan inventarisasi itu masih berlangsung. Melalui kegiatan itu, diketahui bahasa-bahasa yang memerlukan prioritas pendokumentasian bahasa mengingat jumlah penuturnya yang semakin berkurang.
     Kegiatan pendokumentasian bahasa bukanlah yang mudah untuk dilakukan. Ada begitu banyak tantangan di dalamnya. Untuk dapat bertemu dengan penutur asli bahasa tertentu, pendokumentasi harus bekerja ekstra keras dan kadang harus mempertaruhkan nyawa. Secara geografis, penutur bahasa-bahasa yang terancam punah susah untuk dicapai. Biasanya terletak di pedalaman, di pegunungan, atau di pulau terpencil. Perlu waktu cukup panjang untuk sampai ke sana. Tentu saja itu menghabiskan dana yang tidak sedikit karena transportasi sangat mahal. Setelah sampai di lokasi, pendokumentasi harus mampu beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat. Jika tidak, mereka bisa jadi dianggap “pencuri” oleh penduduk asli karena dikira akan mencuri bahasa mereka.
     Pengumpulan data untuk pendokumentasian juga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Idealnya semakin lama pengumpulan data, semakin banyak informasi yang dapat digali. Jika data yang terkumpul memadai, pengkaji bahasa akan sangat terbantu ketika menganalisis data. Hal itu tentu akan berimbas pada kualitas dokumentasi.
     Bentuk dokumentasi bahasa daerah yang terancam punah yang dihasilkan oleh Badan Bahasa pada umumnya baru sebatas kamus. Kalaupun ada rekaman suara, kualitasnya mungkin tidak seideal yang diharapkan dan belum beranotasi. Dokumentasi berupa tata bahasa belum dilakukan. Tata bahasa yang sudah dihasilkan didominasi oleh bahasa-bahasa dengan penutur yang lebih dari satu juta. Arka (2013: 89) mencatat dari tahun 1975 hingga 2007, dari total 335 publikasi tata bahasa, bahasa Jawa (51) menempati jumlah yang tertinggi, diikuti berturut-turut oleh bahasa Sunda (24), bahasa Bali (14), bahas Lampung (9), dan bahasa Aceh (7). Dokumentasi berupa kamus saja sesungguhnya belumlah cukup.
     Dokumentasi berupa korpus bahasa-bahasa yang terancam punah semestinya menjadi prioritas utama. Korpus merupakan data primer. Tidak seperti kamus atau tata bahasa yang datanya biasanya sudah mengalami penyuntingan. Korpus dapat menjadi alat dalam menyusun kamus dan dapat menjadi alat analisis dalam menyusun tata bahasa.
     Pendokumentasian bahasa sesungguhnya langkah awal dalam upaya merevitalisasi bahasa-bahasa yang terancam punah. Keberhasilan untuk merevitalisasi tetap bergantung pada  masyarakat penutur itu sendiri. Namun, pemerintah pusat dan daerah, sebagai penentu kebijakan bahasa, juga bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan  bahasa-bahasa yang ada di wilayahnya.

Daftar Pustaka
Arka, I Wayan. 2013. Language Management and Minority Language Maintenance. Dalam Language Documentation & Conservation vol. 7
Austin, Peter K. 2006. Data and Language Documentation. Dalam Jost Gippert, Nikolaus P. Himmelmann, dan Ulrike Mosel, eds,  Essentials of Language Documentation. Berlin: Walter de Gruyter.
Brenzinger,  Matthias. 2007. Language diversity endangered. Berlin: Walter de Gruyter.
Lewis, M. Paul, Gary F. Simons, dan Charles D. Fennig (eds.). 2015. Ethnologue: Language of the World, Eighteenth edition. Dallas, Texas: SIL International. Diakses dari versi daring:http://www.ethnologue.com pada 19 Agustus 2015.
Himmelmann, Nikolaus P. 2006. Language Documentation: What is it and what is it good for?. Dalam Jost Gippert, Nikolaus P. Himmelmann, dan Ulrike Mosel, eds,  Essentials of Language Documentation. Berlin: Walter de Gruyter.
Hinton, Leanne. 2011. Revitalization of Endangered Language. Dalam Peter K. Austin dan Julia Sallabank, eds, The Cambridge Handbook of Endangered Languages. Cambridge: Cambridge University Press
http://www.ethnologue.com/endangered-languages. Diakses pada 1 Juli 2015.
http://dobes.mpi.nl/projects/?lang=id. Diakses pada 2 Juli 2015.
Moseley, Christopher (ed.). 2010. Atlas of the World’s Languages in Danger, 3rd edn. Paris, UNESCO Publishing. Diakses dari versi daring:http://www.unesco.org/culture/en/endangeredlanguages/atlas pada 1 Juli 2015.
Unesco Ad Hoc Expert Group on Endangered Languages (2003). Language Vitality and Endangermenthttp://www.unesco.org/new/fileadmin
/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/Language_vitality_and_endangerment_EN.pdf.
Woodbury, Tony. 2008. Defining Documentary Linguistics. Diakses darihttp://hrelp.org/events/workshops/eldp2008_6/resources/woodbury.pdf pada 29 Juni 2015.

Sumber: Badan Bahasa Kemdikbud

ILMU DAN BAHASA

Sumber Gambar: www.ilmubahasa.net

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kemampuan berbahasa merupakan ciri khusus pada manusia. Manusia sebagai mahluk sosial, dalam kehidupannya sudah dapat dipastikan akan berhubungan dengan orang lain atau bermasyarakat yang memiliki kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan dengan orang lain dalam berinteraksi. Contohnya: kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan kita ingin mencintai dan dicintai yang dapat dipenuhi dengan adanya komunikasi.

Manusia dapat berkomunikasi dengan baik melalui penguasaan dan penggunaan bahasa. Dimana bahasa merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, karena manusia akan selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Bahasa dijadikan alat untuk menyampaikan, mengekspresikan atau menjelaskan sesuatu yang dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain.

Bahasa yang digunakan merupakan suatu bukti kegiatan intelektual manusia. Manusia tidak akan mencapai puncak kedewasaannya sebagai mahluk yang rasional yang dapat dipisahkan dari keahliannya berbahasa. Sehingga manusia berbahasa sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuannya masing-masing.

Menurut Sunaryo (2000 : 6), ilmu tanpa adanya bahasa tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berpikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan memahami ilmu dan bahasa yang akan diuraikan dalam makalah ini dengan judul “ilmu dan bahasa”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apa itu ilmu dan definisi ilmu?
Bagaimana asal usul bahasa?
Apa itu bahasa?
Apa sajakah karakteristik dari bahasa?
Bagaimana hubungan antara ilmu dan bahasa tersebut?
Bagaimana peran ilmu dan bahasa tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu; atau pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya. Dalam Wikipedia Indonesia, ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.

Selain itu, beberapa tokoh telah menuliskan definisi ilmu antara lain sebagai berikut :
Menurut Nazir(1988), Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil – dalil tertentu menurut kaidah – kaidah umum.
Menurut Shapere (1974), konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi.
Menurut Schulz (1962), pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial.

Secara garis besar, ilmu merupakan suatu kumpulan proses dengan menggunakan suatu metode ilmiah yang menghasilkan suatu pengetahuan yang sistematis.

Secara etimologi, ilmu berasal dari kata “ilm” (Bahasa Arab), Science(Bahasa inggris) atau Scientia (Bahasa Latin)yang mengandung kata kerjascire yang berarti tahu atau mengetahui. Adapun perbedaan ilmu dengan pengetahuan. Kalau pengetahuan yang merupakan padan kata dariknowledge merupakan kumpulan fakta – fakta, sedangkan ilmu adalah pengetahuan ilmiah/sistematis. Kumpulan fakta – fakta tersebut merupakan bahan dasar dari suatu ilmu, sehingga pengetahuan belum dapat dikatakan sebagai ilmu, namun ilmu pasti merupakan pengetahuan.

Menurut John G. Kemeny, Ilmu merupakan semua pengetahuan yang dikumpulkan dengan metode ilmiah. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa ilmu merupakan hasil/produk dari sebuah proses yang dibuat dengan menggunakan metode ilmiah sebagai suatu prosedur. Proses yang dilakukan untuk menghasilkan suatu ilmu bukan merupakan proses pengolahan semata tetapi merupakan suatu rangkaian aktivitas ilmiah/penelitian terhadap suatu hal yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah ilmuan (scientist) yang bersifat rasional, kognitif dan teleologis (memiliki tujuan yang jelas).

Secara lengkap menurut The Liang Gie, Definisi Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala – gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan (The Liang Gie, 130).

Suatu ilmu harus bersifat empiris (hasil dari panca indera/percobaan), sistematis (memeiliki keterkaitan yang teratur), objektif (bukan hasil prasangka), analitis dan verifikatif (bertujuan mencari kebenaran ilmiah). Ilmu memiliki pokok persoalan (objek) dan fokus perhatian. Sebagai contoh ilmu alam. Ilmu alam memiliki pokok persoalan terkait dengan alam dengan beberapa fokus perhatian seperti fisika, kimia, biologi, dan lain-lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan kumpulan fakta yang merupakan bahan dari suatu ilmu, sedangkan ilmu adalah suatu kegiatan penelitian terhadap suatu gejala ataupun kondisi pada suatu bidang dengan menggunakan berbagai prosedur, cara, alat dan metode ilmiah lainnya guna menghasilkan suatu kebenaran ilmiah yang bersifat empiris, sistematis, objektif, analisis dan verifikatif.

B. Asal Mula Bahasa

Apabila kita menelusuri jejak kehidupan nenek moyang manusia di muka bumi sejak lima ratus ribu tahun yang silam, kita tidak pernah menemukan bukti-bukti langsung mengenai bahasa nenek moyang kita tersebut.

Cerita dari Mesir, bahwa sekitar abad ke-17 SM Raja Mesir Psammetichus mengadakan eksperimen terhadap bayi yang dibesarkan di hutan belantara dengan pola pengasuhan yang tanpa bersentuhan dengan pemakaian bahasa apapun. Setelah berusia dua tahun, bayi tersebut dilaporkan oleh pengasuh suruhan istana dapat mengucapkan kata pertamanya “becos” yang berarti “roti”, dalam bahasa Phrygia (bahasa Mesir kuno). Dan cerita ini, banyak orang Mesir yang mempercayai bahwa bahasa Mesirlah yang merupakan bahasa yang pertama dikuasai manusia, sekaligus diklaim sebagai bahasa yang pertama kali ada di muka bumi.

Dalam versi yang lain lagi, Goropus Becanus, seorang bangsa Belanda, mengemukakan pendapat bahwa bahasa yang dipergunakan oleh Adam adalah bahasa Belanda. Seorang filsuf Jerman, Leibniz mengemukakan pandangan bahwa semua bahas di dunia berasal dari bahasa Proto. Namun, baik pendapat Kemke, Goropus, maupun pendapat Leibniz tidak didukung oleh bukti bukti yang sahih, sehingga pendapat mereka dianggap sebagai hasil rekayasa imajinasi belaka.

Dengan kata lain, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya manusia yang pertama kali dalam menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa mitos karena tidak berdasar pada fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Terdapat beberapa teori yang ada, bahwa bahasa bersumber dari Tuhan, bunyi alam, isyarat lisan, dan teori yang mendasarkan pada kemampuan manusia secara fisiologis.

Menurut pandangan yang menyebutkan bahwa bahasa bersumber dari Tuhan. Dalam kitab suci agama Islam misalnyaf disebutkan bahwa Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dengan berbagai kemampuan yang dibekalkan kepadanya, termasuk kemampuan berbahasa (Q.S. Al Baqarah: 31 dan Q.S. Ar-Rum: 22).

Akan tetapi, lain lagi jika menurut kisah ‘Kejadian’ (Injil, Kejadian 2:19) bahwa manusia diciptakan dalam imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa merupakan salah satu dari sifat manusia.

Dalam kebanyakan agama diyakini bahwa Tuhan melengkapi penciptaan manusia dengan bahasa. Namun, berbagai kisah dalam agama-agama itu belum membantu untuk mengetahui dan mengungkap apa sesungguhnya bahasa, serta bagaimana manusia memulai penggunaan bahasa.

Dalam pandangan beberapa aliran agama, sebut saja aliran kepercayaan yang dianut masyarakat Baduy di daerah Banten Selatan (Provinsi Banten), diyakini bahwa nenek moyang mereka adalah cikal bakal manusia di dunia dan bahasa yang digunakan oleh nenek moyang mereka itu adalah bahasa Sunda seperti yang mereka gunakan saat sekarang.

Pandangan lain tentang asal mula bahasa ini didasarkan pada konsep bunyi-bunyi alam. Salah seorang filsuf Yunani yang bemama Socrates, menyatakan bahwa onomatopea atau peniruam bunyi-bunyi alam merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama “yang benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi. Menurut pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan tiruan bunyi alam yang didengar manusia dan lingkungannya.

Sejalah dengan pandangan Socrates, Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman mengemukakan Dingdong Theory atau Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa timbul secara alamiah karena manusia mempunyai insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru bunyi-bunyi alam.

Teori lain yang disebut Teori Bow-bow atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia merupakan tiruan bahasa alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi hujan, bunyi gesekan daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.

Teori-teori yang dikemakakan Socrates, Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat banyak kritik, karena teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’ dapat dihubungkan dengan bunyi-bunyi alam.

Suara yang sama seringkali ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, misalnya dalam menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”, orang Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”, orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle do”.

Teori yang lain adalah Teori Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang berpandangan bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya rasa sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha… ha…” timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit, bunyi “wow…” muncul karena rasa kaget.

Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan isyarat-isyarat yang dilakukan anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat fisik dapat menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.

Selain teori-teori sebagaimana dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula bahasa dengan fokus pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain

C. Pengertian Bahasa

Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.

Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.

Berikut ini adalah pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli:
Menurut Wittgenstein, bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis
Ferdinand De Saussure, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain
Plato, bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.
Carrol, bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.

Sehingga dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.

D. Karakteristik Bahasa

Berikut ini adalah karakteristik bahasa, yaitu:

1.Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu.

Contohnya: secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan.

2. Bahasa bersifat produktif artinya dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas.

Contohnya: menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.

3. Bahasa Bersifat Dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi.

Contohnya: perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.

4.Bahasa Bersifat Beragam artinya bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon.

Contohnya: Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.

5.Bahasa bersifat manusiawi yaitu Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.

E. Hubungan Ilmu dan Bahasa

Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Dan bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).

Terkait dengan hal di atas, dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi dengan ilmu menjadikan bahasa memudahkan dalam kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Dengan ilmu, bahasa mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (tokoh psikolingustik) yang menjelaskan studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa yang berhubungan dengan ilmu, yaitu mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan.

Ilmu dan bahasa berhubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.

Contoh dalam perilaku manusia yang tampak dalam hubungan ilmu dan bahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.

Ilmu dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Bahasa berperan penting dalam upaya pengembangan dan penyebarluasan ilmu. Setiap penelitian ilmiah tidak dapat dilaksanakan tanpa menggunakan bahasa, matematika (sarana berpikir deduktif) dan statistika (sarana berpikir induktif) sebagai sarana berpikir (Sarwono, 2006: 13). Upaya-upaya penyebarluasan ilmu juga tidak mungkin dilaksanakan tanpa bahasa sebagai media komunikasi. Setiap forum ilmiah pasti menggunakan bahasa sebagai sarana utama. Aktivitas-aktivitas yang diarahkan untuk memahami, mengeksplorasi, dan mendiskusikan konsep-konsep ilmu tidak dapat diselenggarakan tanpa melibatkan bahasa sebagai sarana.

F. Peran Bahasa Dalam Ilmu

Peran bahasa dalam ilmu erat hubungannya dengan aspek fungsional bahasa sebagai media berpikir dan media komunikasi. Sehubungan dengan itu, pembahasan tentang permasalahan ini akan disoroti dalam dua bagian:

1. Hubungan Bahasa dan Pikiran

Berpikir merupakan aktivitas mental yang tersembunyi, yang bisa disadari hanya oleh orang yang melakukan aktivitas itu. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia bisa membahas obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang tidak berada atau sedang berlangsung disekitarnya. Kemampuan berpikir juga kadang-kadang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tanpa mencoba berbagai alternatif solusi secara langsung (nyata).

Peran penting bahasa dalam inovasi ilmu terungkap jelas dari fungsi bahasa sebagai media berpikir. Melalui kegiatan berpikir, manusia memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara menghimpun dan memanipulasi ilmu dan pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, dan membayangkan. Selama melakukan aktivitas berpikir, bahasa berperan sebagai simbol-simbol (representasi mental) yang dibutuhkan untuk memikirkan hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh melalui penginderaan. Setiap kali seseorang sedang memikirkan seekor harimau, misalnya, dia tidak perlu menghadirkan seekor harimau dihadapannya. Makalah-makalah yang relevan, yang berfungsi sebagai representasi mental tentang harimau, sudah dapat membantunya untuk memikirkan hewan itu. Cassirer (dalam Suriasumantri, 1990: 71) mengatakan manusia adalah Animal symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan lebih luas dari homo sapiens, mahluk yang berpikir. Tanpa kemampuan menggunakan simbol ini, kemampuan berpikir secara sistmatis dan teratur tidak dapat dilakukan.

Bahasa memang tidak selalu identik dengan berpikir. Jika seseorang ditanya apa yang sedang dipikirkannya, dia akan menggambarkan pikirannya melalui bahasa.meskipun pikirannya tidak berbentuk simbol-simbol linguistik ketika dia ditanya, dia pasti mengungkapkan pikiran itu dalam bentuk simbol-simbol linguistik agar proses komunikasi dengan penanya berjalan dengan baik. Namun, meskipun bahasa tidak identik dengan berpikir, berpikir tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Bahkan, karakteristik bahasa yang dimiliki seseorang akan menentukan objek apa saja yang dapat dipikirkannya. Berbagai filsuf menyatakan bahwa suku-suku primitif tidak dapat memikirkan hal-hal yang‘canggih’ bukan karena mereka tidak dapat berpikir, tetapi karena bahasa mereka tidakdapat memfasilitasi mereka untuk melakukannya (Miller, 1983: 176). Kenyataan ini terungkap jelas dalam diri mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri. Dia akan berhasil menyelesaikan studinya hanya jika dia menguasai bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran. Mengingat betapa pentingnya peran bahasa dalam proses ini, tidaklah berlebihan bila Tomasello (1999) menegaskan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan.

2. Bahasa Sebagai Media Komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu jantung pengembangan ilmu. Setiap ilmu dapat berkembang jika temuan-temuan dalam ilmu itu disebarluaskan (dipublikasikan) melalui tindakan berkomunikasi. Temuan-temuan itu kemudian didiskusikan, diteliti ulang, dikembangkan, disintetiskan, diterapkan atau diperbaharui oleh ilmuwan lainnya. Hasil-hasil diskusi, sintetis, penelitian ulang, penerapan, dan pengembangan itu kemudian dipublikasikan lagi untuk ditindaklanjuti oleh ilmuwan lainnya. Selama dalam proses penelitian, perumusan, dan publikasi temuan-temuan tersebut, bahasa memainkan peran sentral, karena segala aktivitas tersebut menggunakan bahasa sebagai media.

Dalam penelitian dan komunikasi ilmiah, setiap ilmuwan perlu mengembangkan dan memahami bahasa (terutama jargon-jargon akademis dan terminologi khusus) yangdigunakan dalam bidang yang ditekuni. Tanpa bahasa yang mereka pahami bersama, kesalahpahaman akan sulit dihindari dan mereka tidak dapat bersinergi untuk mengembangkan ilmu.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
  1. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
  2. Upaya manusia yang pertama kali dalam menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa mitos karena tidak berdasar pada fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
  3. Bahasa sebagai alat komunikasi bagi manusia memiliki keteraturan. Keteraturan bahasa ini dapat dipelajarai dalam ilmu bahasa atau linguistik.
  4. Karakteristik bahasa, yaitu bahasa bersifat abritrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi.
  5. Ilmu dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Bahasa berperan penting dalam upaya pengembangan dan penyebarluasan ilmu. Sehingga ilmu tanpa bahasa tidak berkembang, bahasa tanpa ilmu tidak beraturan.
  6. Ilmu dan bahasa saling besinergi, bahasa sebagai alat untuk mengembangkan ilmu dan ilmu dapat menunjang perkembangan bahasa.

Sumber:
Caray. Asal Mula Bahasa.http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2010/03/asal-mula-bahasa.html. Diakses tanggal 20 November 2012.

_____. Sejarah Perkembangan Bahasa.http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa.html. Diakses tanggal 20 November 2012.

_____. 2011. Hubungan Ilmu Dengan Bahasa.http://fullcoloursaboutenis.blogspot.com/2011/06/hubungan-ilmu-dengan-bahasa.html. Diakses tanggal 20 November 2012.

Ekaningtyas, Diah. 2011 Apa Itu Ilmu dan Apa Definisi Ilmu.http://diahtyas8.wordpress.com/2011/03/10/apa-itu-ilmu-dan-apa-definisi-ilmu/ Diakses tanggal 15 November 2012.

Hutasoit’s, Nella. 2012. Pengertian bahasa.http://nellahutasoit.wordpress.com/2012/04/22/pengertian-bahasa/. Diakses tanggal 20 November 2012.

Indahf. Pengertian dan Definisi Bahasa Menurut Para Ahli.http://carapedia.com/pengertian_definisi_bahasa_menurut_para_ahli_info494.html. Diakses tanggal 20 November 2012.

Rahmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Quantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Scribd. Apa Itu Bahasa. http://id.scribd.com/doc/46744017/APA-ITU-BAHASA. Diakses tanggal 20 November 2012.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kwary, Deny A. Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik). http:www.kwary.net/Linguistics/Gambaran%20 Umum %20 Ilmu%20 Bahasa.doc. Diakses tanggal 20 November 2012.

Wikipedia. Ilmu. http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu. Diakses tanggal 20 November2012

Dikutip dari: https://pramithasari27.wordpress.com/2012/11/26/filsafat-ilmu-dan-bahasa/


Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik)
Oleh: Deny A. Kwary

Sumber Gambar: pauwah.wordpress.com


I. Pendahuluan


Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:

“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”

Program studi Ilmu Bahasa mulai jenjang S1 sampai S3, bahkan sampai post-doctoral program telah banyak ditawarkan di universitas terkemuka, seperti University of California in Los Angeles (UCLA), Harvard University, Massachusett Institute of Technology (MIT), University of Edinburgh, dan Oxford University. Di Indonesia, paling tidak ada dua universitas yang membuka program S1 sampai S3 untuk ilmu bahasa, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya.


II. Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa


Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern.

2. 1 Tata Bahasa Tradisional

Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.

Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.

Pada awal abad 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani. Apa yang dewasa ini disebut "tata bahasa tradisional" atau " tata bahasa Yunani" , penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.

Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic. Di samping itu sarjana ini juga berhasil mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani menurut kasus, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.

Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan hanya melakukan sedikit modifikasi, karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan.

Selama abad 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Kristen. Pada masa itu gramatika tidak lain adalah teori tentang kelas kata. Pada masa Renaisans bahasa Latin menjadi sarana untuk memahami kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang tata bahasa Latin atas dasar tata bahasa yang disusun oleh Donatus. 

Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian "bahasa yang baik" , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian "bahasa yang baik" ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat "merusak" bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.

Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada abad 5 diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia, kemudian ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para ahli tata bahasa Arab menyerap tata bahasa Siria. 

Selain di Eropa dan Asia Barat, penelitian bahasa di Asia Selatan yang perlu diketahui adalah di India dengan ahli gramatikanya yang bemama Panini (abad 4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun ahli ini memiliki kelebihan di bidang fonetik. Keunggulan ini antara lain karena adanya keharusan untuk melafalkan dengan benar dan tepat doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda. 

Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.


2. 2 Linguistik Modern

2. 2. 1 Linguistik Abad 19


Pada abad 19 bahasa Latin sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pemerintahan atau pendidikan. Objek penelitian adalah bahasa-bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan atau berasal dari satu induk bahasa. Bahasa-bahasa dikelompokkan ke dalam keluarga bahasa atas dasar kemiripan fonologis dan morfologis. Dengan demikian dapat diperkirakan apakah bahasa-bahasa tertentu berasal dari bahasa moyang yang sama atau berasal dari bahasa proto yang sama sehingga secara genetis terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Bahasa-bahasa Roman, misalnya secara genetis dapat ditelusuri berasal dari bahasa Latin yang menurunkan bahasa Perancis, Spanyol, dan Italia.

Untuk mengetahui hubungan genetis di antara bahasa-bahasa dilakukan metode komparatif. Antara tahun 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya. Pada tahun 1870 itu para ahli bahasa dari kelompok Junggramatiker atau Neogrammarian berhasil menemukan cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa berdasarkan metode komparatif.

Beberapa rumpun bahasa yang berhasil direkonstruksikan sampai dewasa ini antara lain:

1. Rumpun Indo-Eropa: bahasa Jerman, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavis, Roman, Keltik, Gaulis.

2. Rumpun Semito-Hamit: bahasa Arab, Ibrani, Etiopia.

3. Rumpun Chari-Nil; bahasa Bantu, Khoisan.

4. Rumpun Dravida: bahasa Telugu, Tamil, Kanari, Malayalam.

5. Rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia: bahasa Melayu, Melanesia, Polinesia.

6. Rumpun Austro-Asiatik: bahasa Mon-Khmer, Palaung, Munda, Annam.

7. Rumpun Finno-Ugris: bahasa Ungar (Magyar), Samoyid.

8. Rumpun Altai: bahasa Turki, Mongol, Manchu, Jepang, Korea.

9. Rumpun Paleo-Asiatis: bahasa-bahasa di Siberia.

10. Rumpun Sino-Tibet: bahasa Cina, Thai, Tibeto-Burma.

11. Rumpun Kaukasus: bahasa Kaukasus Utara, Kaukasus Selatan.

12. Bahasa-bahasa Indian: bahasa Eskimo, Maya Sioux, Hokan

13. Bahasa-bahasa lain seperti bahasa di Papua, Australia dan Kadai.

Ciri linguistik abad 19 sebagai berikut:

1) Penelitian bahasa dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Eropa, baik bahasa-bahasa Roman maupun nonRoman.

2) Bidang utama penelitian adalah linguistik historis komparatif. Yang diteliti adalah hubungan kekerabatan dari bahasa-bahasa di Eropa untuk mengetahui bahasa-bahasa mana yang berasal dari induk yang sama. Dalam metode komparatif itu diteliti perubahan bunyi kata-kata dari bahasa yang dianggap sebagai induk kepada bahasa yang dianggap sebagai keturunannya. Misalnya perubahan bunyi apa yang terjadi dari kata barang, yang dalam bahasa Latin berbunyi causa menjadi chose dalam bahasa Perancis, dan cosa dalam bahasa Italia dan Spanyol.

3) Pendekatan bersifat atomistis. Unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat.

2. 2. 2 Linguistik Abad 20

Pada abad 20 penelitian bahasa tidak ditujukan kepada bahasa-bahasa Eropa saja, tetapi juga kepada bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika (bahasa-bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia (bahasa-bahasa Papua dan bahasa banyak negara di Asia). Ciri-cirinya:

1) Penelitian meluas ke bahasa-bahasa di Amerika, Afrika, dan Asia.

2) Pendekatan dalam meneliti bersifat strukturalistis, pada akhir abad 20 penelitian yang bersifat fungsionalis juga cukup menonjol.

3) Tata bahasa merupakan bagian ilmu dengan pembidangan yang semakin rumit. Secara garis besar dapat dibedakan atas mikrolinguistik, makro linguistik, dan sejarah linguistik.

4) Penelitian teoretis sangat berkembang.

5) Otonomi ilmiah makin menonjol, tetapi penelitian antardisiplin juga berkembang.

6) Prinsip dalam meneliti adalah deskripsi dan sinkronis

Keberhasilan kaum Junggramatiker merekonstruksi bahasa-bahasa proto di Eropa mempengaruhi pemikiran para ahli linguistik abad 20, antara lain Ferdinand de Saussure. Sarjana ini tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik modern, melainkan juga seorang tokoh gerakan strukturalisme. Dalam strukturalisme bahasa dianggap sebagai sistem yang berkaitan (system of relation). Elemen-elemennya seperti kata, bunyi saling berkaitan dan bergantung dalam membentuk sistem tersebut.

Beberapa pokok pemikiran Saussure:

(1) Bahasa lisan lebih utama dari pada bahasa tulis. Tulisan hanya merupakan sarana yang mewakili ujaran.

(2) Linguistik bersifat deskriptif, bukan preskriptif seperti pada tata bahasa tradisional. Para ahli linguistik bertugas mendeskripsikan bagaimana orang berbicara dan menulis dalam bahasanya, bukan memberi keputusan bagaimana seseorang seharusnya berbicara.

(3) Penelitian bersifat sinkronis bukan diakronis seperti pada linguistik abad 19. Walaupun bahasa berkembang dan berubah, penelitian dilakukan pada kurun waktu tertentu.

(4) Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang bersisi dua, terdiri dari signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Keduanya merupakan wujud yang tak terpisahkan, bila salah satu berubah, yang lain juga berubah.

(5) Bahasa formal maupun nonformal menjadi objek penelitian.

(6) Bahasa merupakan sebuah sistem relasi dan mempunyai struktur.

(7) Dibedakan antara bahasa sebagai sistem yang terdapat dalam akal budi pemakai bahasa dari suatu kelompok sosial (langue) dengan bahasa sebagai manifestasi setiap penuturnya (parole).

(8) Dibedakan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa. Hubungan asosiatif atau paradigmatis ialah hubungan antarsatuan bahasa dengan satuan lain karena ada kesamaan bentuk atau makna. Hubungan sintagmatis ialah hubungan antarsatuan pembentuk sintagma dengan mempertentangkan suatu satuan dengan satuan lain yang mengikuti atau mendahului. 

Gerakan strukturalisme dari Eropa ini berpengaruh sampai ke benua Amerika. Studi bahasa di Amerika pada abad 19 dipengaruhi oleh hasil kerja akademis para ahli Eropa dengan nama deskriptivisme. Para ahli linguistik Amerika mempelajari bahasa-bahasa suku Indian secara deskriptif dengan cara menguraikan struktur bahasa. Orang Amerika banyak yang menaruh perhatian pada masalah bahasa. Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga (1801-1809), menganjurkan agar supaya para ahli linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian. Seorang ahli linguistik Amerika bemama William Dwight Whitney (1827-1894) menulis sejumlah buku mengenai bahasa, antara lain Language and the Study of Language (1867). 

Tokoh linguistik lain yang juga ahli antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Sarjana ini mendapat pendidikan di Jerman, tetapi menghabiskan waktu mengajar di negaranya sendiri. Karyanya berupa buku Handbook of American Indian languages (1911-1922) ditulis bersama sejumlah koleganya. Di dalam buku tersebut terdapat uraian tentang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Pada tahun 1917 diterbitkan jurnal ilmiah berjudul International Journal of American Linguistics.

Pengikut Boas yang berpendidikan Amerika, Edward Sapir (1884-1939), juga seorang ahli antropologi dinilai menghasilkan karya-karya yang sangat cemerlang di bidang fonologi. Bukunya, Language (1921) sebagian besar mengenai tipologi bahasa. Sumbangan Sapir yang patut dicatat adalah mengenai klasifikasi bahasa-bahasa Indian.

Pemikiran Sapir berpengaruh pada pengikutnya, L. Bloomfield (1887-1949), yang melalui kuliah dan karyanya mendominasi dunia linguistik sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1914 Bloomfield menulis buku An Introduction to Linguistic Science. Artikelnya juga banyak diterbitkan dalam jurnal Language yang didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa melalui teknik drill.

Dalam bukunya Language, Bloomfield mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Sapir. Sapir berpendapat fonem sebagai satuan psikologis, tetapi Bloomfield berpendapat fonem merupakan satuan behavioral. Bloomfield dan pengikutnya melakukan penelitian atas dasar struktur bahasa yang diteliti, karena itu mereka disebut kaum strukturalisme dan pandangannya disebut strukturalis.

Bloomfield beserta pengikutnya menguasai percaturan linguistik selama lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu kaum Bloomfieldian berusaha menulis tata bahasa deskriptif dari bahasa-bahasa yang belum memiliki aksara. Kaum Bloomfieldian telah berjasa meletakkan dasar-dasar bagi penelitian linguistik di masa setelah itu.

Bloomfield berpendapat fonologi, morfologi dan sintaksis merupakan bidang mandiri dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang memperlakukan bahasa sebagai sistem hubungan adalah tata bahasa stratifikasi yang dipelopori oleh S.M. Lamb. Tata bahasa lainnya yang memperlakukan bahasa sebagai sistem unsur adalah tata bahasa tagmemik yang dipelopori oleh K. Pike. Menurut pendekatan ini setiap gatra diisi oleh sebuah elemen. Elemen ini bersama elemen lain membentuk suatu satuan yang disebut tagmem.

Murid Sapir lainnya, Zellig Harris, mengaplikasikan metode strukturalis ke dalam analisis segmen bahasa. Sarjana ini mencoba menghubungkan struktur morfologis, sintaktis, dan wacana dengan cara yang sama dengan yang dilakukan terhadap analisis fonologis. Prosedur penelitiannya dipaparkan dalam bukunya Methods in Structural Linguistics (1951).

Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.

III. Paradigma

Kata paradigma diperkenalkan oleh Thomas Khun pada sekitar abad 15. Paradigma adalah prestasi ilmiah yang diakui pada suatu masa sebagai model untuk memecahkan masalah ilmiah dalam kalangan tertentu. Paradigma dapat dikatakan sebagai norma ilmiah. Contoh paradigma yang mulai tumbuh sejak zaman Yunani tetapi pengaruhnya tetap terasa sampai zaman modern ini adalah paradigma Plato dan paradigma Aristoteles. Paradigma Plato berintikan pendapat Plato bahwa bahasa adalah physei atau mirip dengan realitas, disebut juga non-arbitrer atau ikonis. Paradigma Aristoteles berintikan bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip dengan realitas, kecuali onomatope, disebut arbitrer atau non-ikonis. Kedua paradigma ini saling bertentangan, tetapi dipakai oleh peneliti dalam memecahkan masalah bahasa, misalnya tentang hakikat tanda bahasa. 

Pada masa tertentu paradigma Plato banyak digunakan ahli bahasa untuk memecahkan masalah linguistik. Penganut paradigma Plato ini disebut kaum naturalis. Mereka menolak gagasan kearbitreran. Pada masa tertentu lainnya paradigma Aristoteles digunakan mengatasi masalah linguistik. Penganut paradigma Aristoteles disebut kaum konvensionalis. Mereka menerima adanya kearbiteran antara bahasa dengan realitas.

Pertentangan antara kedua paradigma ini terus berlangsung sampai abad 20. Di bidang linguistik dan semiotika dikenal tokoh Ferdinand de Saussure sebagai penganut paradigma .Aristoteles dan Charles S. Peirce sebagai penganut paradigma Plato. Mulai dari awal abad 19 sampai tahun 1960-an paradigma Aristoteles yang diikuti Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik. Tercatat beberapa nama ahli linguistik seperti Bloomfield dan Chomsky yang dalam pemikirannya menunjukkan pengaruh Saussure dan paradigma Aristoteles. Menjelang pertengahan tahun 60-an dominasi paradigma Aristoteles mulai digoyahkan oleh paradigma Plato melalui artikel R. Jakobson "Quest for the Essence of Language" (1967) yang diilhami oleh Peirce. Beberapa nama ahli linguistik seperti T. Givon, J. Haiman, dan W. Croft tercatat sebagai penganut paradigma Plato.


IV. Cakupan dan Kemaknawian Ilmu Bahasa

Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain. Beberapa bidang tersebut dijelaskan dalam sub-bab berikut ini.

4. 1 Fonetik

Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa. Para ahli fonetik telah berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik, orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat.

Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik, departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya pemimpin negara. Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat, seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang pemimpin di Indonesia mengadakan kunjungan ke Cina, ia cukup meminta staf-nya untuk menerjemahkan pidatonya ke bahasa Cina dan menulisnya dengan abjad fonetik, sehingga ia dapat memberikan pidato dalam bahasa Cina dengan ucapan yang tepat. Salah seorang pemimpin yang telah memanfaatkan abjad fonetik internasional adalah Paus Yohanes Paulus II. Ke negara manapun beliau berkunjung, beliau selalu memberikan khotbah dengan menggunakan bahasa setempat. Apakah hal tersebut berarti bahwa beliau memahami semua bahasa di dunia? Belum tentu, namun cukup belajar fonetik saja untuk mampu mengucapkan bunyi ratusan bahasa dengan tepat.

4. 2 Fonologi

Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut. Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

4. 3 Morfologi

Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran -­en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran -­en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.

4. 4 Sintaksis

Analisis sintaksis mengacu pada analisis frasa dan kalimat. Salah satu kemaknawiannya adalah perannya dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Beberapa teori analisis sintaksis dapat menunjukkan apakah suatu kalimat atau frasa dalam suatu peraturan perundang-undangan bersifat ambigu (bermakna ganda) atau tidak. Jika bermakna ganda, tentunya perlu ada penyesuaian tertentu sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak disalahartikan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

4. 5 Semantik

Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai. 

4. 6 Pengajaran Bahasa

Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English. Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. K. Ogden. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama. 

Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.

Proses penelitian hingga menjadi materi pelajaran atau buku bahasa Inggris yang bermanfaat hanya diketahui oleh ahli bahasa yang terkait, sedangkan pelajar bahasa dapat langung mempelajari dan memperoleh manfaatnya. Sama halnya dalam ilmu kedokteran, proses penelitian hingga menjadi obat yang bermanfaat hanya diketahui oleh dokter, sedangkan pasien dapat langsung menggunakannya dan memperoleh manfaatnya. 

4. 7 Leksikografi

Leksikografi adalah bidang ilmu bahasa yang mengkaji cara pembuatan kamus. Sebagian besar (atau bahkan semua) sarjana memiliki kamus, namun mereka belum tentu tahu bahwa penulisan kamus yang baik harus melalui berbagai proses.

Dua nama besar yang mengawali penyusunan kamus adalah Samuel Johnson (1709-1784) dan Noah Webster (1758-1843). Johnson, ahli bahasa dari Inggris, membuat Dictionary of the English Language pada tahun 1755, yang terdiri atas dua volume. Di Amerika, Webster pertama kali membuat kamus An American Dictionary of the English Language pada tahun 1828, yang juga terdiri atas dua volume. Selanjutnya, pada tahun 1884 diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume.

Saat ini, kamus umum yang cukup luas digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Mengapa kamus Oxford? Beberapa orang mungkin secara sederhana akan menjawab karena kamus tersebut lengkap dan cukup mudah dimengerti. Tidak banyak yang tahu bahwa (setelah tahun 1995) kamus tersebut ditulis berdasarkan hasil analisis British National Corpus yang melibatkan cukup banyak ahli bahasa dan menghabiskan dana universitas dan dana negara yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, definisi yang diberikan dalam kamus tersebut seharusnya dapat mudah dipahami oleh pelajar karena semua entri dalam kamus tersebut hanya didefinisikan oleh sekelompok kosa kata inti. Bagaimana kosa-kata inti tersebut disusun? Tentu hanya ahli bahasa yang dapat menjelaskannya, sedangkan para sarjana dan pelajar dapat langsung saja menikmati dan menggunakan berbagai kamus Oxford yang ada dipasaran.

V. Penutup

Penelitian bahasa sudah dimulai sejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangun sejak awal abad 3 SM di kota Alexandria. Kamus bahasa Inggris, Dictionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali diterbitkan pada tahun 1755; dan pada tahun 1884 telah diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume. Antara 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya. 

Salah satu buku awal yang menjelaskan mengenai ilmu bahasa adalah buku An Introduction to Linguistic Science yang ditulis oleh Bloomfield pada tahun 1914. Jurnal ilmiah internasional ilmu bahasa, yang berjudul International Journal of American Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1917.

Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bidang linguistik di berbagai universitas terkemuka (UCLA, MIT, Oxford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat perhatian. Salah satu buktinya adalah buku The Comprehensive Grammar of the English Langauge, yang terdiri atas 1778 halaman, yang acara peluncurannya di buka oleh Margareth Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammar of the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang tergabung dalam tim peneliti internasional dari lima negara. 


Pustaka Acuan


Robins, R.H. 1990. A Short History of Linguistics. London: Longman.

Fromkin, Victoria & Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (6th Edition). Orlando: Harcourt Brace College Publishers.

Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary (5th edition). Oxford: Oxford University Press.

Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.